AGENDA KEGIATAN
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
25 Juni 2024 oleh jakarta
Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti menyatakan dukungan terhadap amendemen Undang-Undang 1945 ke naskah asli seperti keinginan Partai Gerindra. La Nyalla menyebut DPD perlu memperkuat diri melalui jalur konstitusi dengan cara kembali ke UUD 1945 yang asli.
"Penguatan melalui jalur konstitusi ini dengan cara kembali ke UUD 45 asli untuk kemudian kita melakukan amendemen dengan teknik addendum," ujar La Nyalla saat pidato di acara Deklarasi Dukung Paket Pimpinan DPD RI 2024-2029 di Senayan Park, Minggu (23/6).
Usulan itu, lanjut dia, akan disampaikan ke anggota DPD terpilih sebagai bagian agenda prioritas.
La Nyalla juga menyebut telah berkomunikasi dengan pimpinan partai politik mengenai usulan perubahan konstitusi tersebut. Parpol, lanjut dia, tengah membahas usulan itu.
Yakin Prabowo setuju usai dilantik presiden Dia juga meyakini presiden RI terpilih sekaligus ketua umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sepakat dengan gagasan perubahan UUD ini.
"Dan sekarang saya yakin Pak Prabowo pun juga setuju karena di dalam AD ART Gerindra itu kembali ke UUD 1945," ungkap dia ke awak media usai acara deklarasi.
Keyakinan La Nyalla terkait sikap Prabowo dimaknai sebagai respons positif. Dia juga mengatakan bakal berdiskusi dengan presiden baru usai dilantik.
"Kita berdoa supaya pelantikan Pak Prabowo berjalan lancar setelah itu kita akan mengajak beliau bersama-sama kita (membahas) konsep mengembalikan UUD 45 ke naskah aslinya," imbuh dia.
Narasi kembali ke naskah asli UUD 1945 sebetulnya sudah mencuat sejak lama. Pada 2023 lalu, La Nyalla sempat mengusulkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara berhak memilih dan melantik presiden.
Wakil ketua Gerindra, Habiburokhman, juga mengatakan usulan tersebut akan ditinjau usai pemerintahan baru terbentuk.
Wacana kembali ke naskah asli UUD 1945 memicu kritik karena dianggap kemunduran demokrasi. Pakar politik dan keamanan internasional dari Universitas Murdoch narasi itu sebagai penolakan terhadap reformasi.
"Ini berarti pembatalan amendemen konstitusi yang dibuat antara tahun 1999-2002 yang mendukung pemilu demokratis, perlindungan hak asasi manusia, dan batasan masa jabatan presiden (dua periode lima tahun)," ujar Wilson dalam tulisan analisis yang rilis di lembaga think tank Singapura, Fulcrum.