15 Mei 2023 oleh jakarta
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan lembaga yang dipimpinnya tidak memiliki kewenangan maksimal dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.
Alasannya, dalam sistem bernegara saat ini DPD RI bukanlah pembentuk undang-undang.
“Sebagai wakil dari daerah, faktanya dalam konstitusi kita, DPD RI bukan pembentuk undang-undang. Inilah sistem bernegara hasil dari era Reformasi, di mana UUD 1945 naskah asli telah mengalami amendemen sebanyak empat kali pada tahun 1999-2002 yang mengubah lebih dari 95 persen isi pasal-pasalnya,” ujar LaNyalla, saat mengisi Kuliah Umum Wawasan Kebangsaan bertajuk “Mengembalikan Kedaulatan dan Mewujudkan Kesejahteraan Indonesia”, di Universitas Trunojoyo Madura, Jumat (12/5/2023).
Oleh karenanya, LaNyalla menilai saat ini banyak yang kecewa dengan UU yang ada, apakah itu UU Cipta Kerja, UU Minerba atau UU Ibu Kota Nusantara yang memberikan kemudahan kepada investor untuk menguasai tanah, begitu juga dengan RUU Kesehatan yang diprotes kalangan tenaga medis, maka DPD RI tidak bisa secara maksimal memperjuangkan.
Berangkat dari fakta tersebut, Senator asal Jawa Timur itu mengajak seluruh elemen bangsa, termasuk di dalamnya Civitas Akademika Universitas Trunojoyo Madura, untuk mendorong konsensus nasional kembali kepada UUD 1945 naskah asli, untuk selanjutnya diperbaiki dan diperkuat dengan teknik addendum.
“Hal ini penting, agar kita kembali kepada arah bernegara yang sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa, di mana kedaulatan benar-benar berada di tangan rakyat, melalui wakil-wakil mereka yang duduk di Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagai lembaga tertinggi di Indonesia,” ujarnya.
Menurut LaNyalla, itulah konsepsi sistem bernegara yang tertuang di dalam Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945, di mana terdapat wakil-wakil yang dipilih dan utusan-utusan yang diutus untuk berada di MPR.
“Wakil-wakil yang dipilih, adalah peserta Pemilu. Sedangkan wakil-wakil yang diutus adalah mereka yang diusung dan diberi amanat oleh kelompok atau organisasi mereka. Inilah sistem asli bangsa kita, yang diberi nama Demokrasi Pancasila,” jelas LaNyalla.
Jika ditinjau dari aspek ekonomi dan kesejahteraan rakyat, lanjutnya, amendemen konstitusi era reformasi tersebut juga membuat negara tidak lagi berdaulat untuk menyusun ekonomi. Saat ini, perekonomian nasional dipaksa disusun oleh mekanisme pasar bebas. Akibatnya, negara tidak lagi berkuasa penuh atas bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, karena cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak sudah dikuasai swasta.
“Inilah yang menyebabkan Indonesia terasa semakin gagap menghadapi tantangan dunia masa depan. Karena lemahnya kekuatan ekonomi negara dalam menyiapkan ketahanan di sektor-sektor strategis,” tegas LaNyalla.
Berangkat dari dua kenyataan tersebut, yakni dari aspek sistem bernegara dan bagaimana negara ini menjalankan roda perekonomian untuk kesejahteraan rakyat, maka LaNyalla menilai tak lagi ada pilihan. Sistem bernegara hari ini yang diakibatkan oleh kecelakaan perubahan konstitusi di era reformasi harus diakhiri dengan cara kembali kepada rumusan asli sistem bernegara dan sistem ekonomi Pancasila.
“Kembali kepada UUD 1945 naskah asli adalah peta jalan yang sekarang sedang saya tawarkan kepada bangsa ini. Mari kita perbaiki kelemahan naskah asli konstitusi kita. Tetapi jangan kita mengubah total konstruksi bernegara yang telah dirumuskan para pendiri bangsa,” ajak LaNyalla.
(Sumber: https://liputan.co.id/2023/05/lanyalla-dpd-ri-tak-maksimal-karena-bukan-pembentuk-undang-undang/)